Dalam perkembangan dunia IT yang semakin pesat, saat ini telah banyak
bermunculan istilah atau konsep-konsep baru dalam kehidupan masyarakat,
terutama dalam kegiatan perekonomian- baik pada level ekonomi makro
maupun ekonomi mikro. Bahkan konsep-konsep baru tersebut telah mengarah
ke ”teori-teori” baru yang ”melengkapi”, ”dipertentangkan” bahkan
”menggantikan” beberapa konsep atau teori ”lama”. Beberapa contoh konsep
tersebut diantaranya adalah digital economy, economic of internet,
knowledge based economy, e-commerce, e-marketing, e-business, e-finance,
e-banking, e-money, digital cash, dan less-cash society. Semua
konsep-konsep baru tersebut berkaitan dengan perkembangan dan penerapan
TIK pada berbagai sektor perekonomian
Beberapa pernyataan yang
menarik terkait dengan topik ini adalah ”Apakah masyarakat digital sudah
terbentuk, atau minimal ada tanda-tandanya di Indonesia?”, ”Bagaimana
potensi digital economy untuk Indonesia yang masih menghadapi masalah
kesejahteraan?”, ”Bagaimana perkembangan teknologi E-banking di
Indonesia dikaitkan dengan pembentukan masyarakat digital di
Indonesia?”, serta “Bagaimana persepsi masyarakat tentang penggunaan
E-Banking?”. Ulasan terhadap dua pertanyan pertama merupakan pondasi
mengenai pentingnya TIK dalam sektor perekonomian, yang dilengkapi
posisi Indonesia dalam hal pemanfaatan TIK di lingkungan global
POSISI INDONESIA DALAM PEMANFAATAN TIK
OECD
mendefinisikan Teknologi Informasi dan Komunikasi, selanjutnya disebut
TIK, sebagai rangkaian kegiatan yang difasilitasi peralatan elektronik
yang mencakup pengolahan, transmisi, dan penyajian informasi. TIK
merupakan konvergensi dari tiga wilayah yaitu teknologi informasi, data
dan informasi, serta masalah-masalah sosioekonominya. Jadi berbicara
mengenai TIK tidak hanya sebatas teknologinya itu sendiri tetapi juga
harus mengkaji dan mempertimbangkan dampak dari teknologi tersebut.
Dengan kata lain, penguasaan dan penerapan TIK secara umum seiring
dengan berbagai dampal positif dan negatif yang ditimbulkannya.
Bagaimana tingkat penetrasi atau adopsi TIK di Indonesia untuk tahun
2006, dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Indikator Indonesia Rata-rata Asia Rata-rata Dunia :
Total Telpon per 100 penduduk 34,87 44,92 60,04
Cellular Mobile per 100 penduduk 28,30 29,28 40,91
Main Telpon per 100 penduduk 6,57 15,81 19,39
Internet users per 100 penduduk 7,18 11,57 17,39
Broadband subsciber per 100 penduduk 0,05 2,71 4,30
Sumber: International Communication Union (2007)
Jenis-Jenis Teknologi E-Banking
Automated
Teller Machine (ATM). Terminal elektronik yang disediakan lembaga
keuangan atau perusahaan lainnya yang membolehkan nasabah untuk
melakukan penarikan tunai dari rekening simpanannya di bank, melakukan
setoran, cek saldo, atau pemindahan dana.
Computer Banking.
Layanan bank yang bisa diakses oleh nasabah melalui koneksi internet ke
pusat data bank, untuk melakukan beberapa layanan perbankan, menerima
dan membayar tagihan, dan lain-lain.
Debit (or check) Card. Kartu
yang digunakan pada ATM atau terminal point-of-sale (POS) yang
memungkinkan pelanggan memperoleh dana yang langsung didebet (diambil)
dari rekening banknya.
Direct Deposit. Salah satu bentuk
pembayaran yang dilakukan oleh organisasi (misalnya pemberi kerja atau
instansi pemerintah) yang membayar sejumlah dana (misalnya gaji atau
pensiun) melalui transfer elektronik. Dana ditransfer langsung ke setiap
rekening nasabah.
Direct Payment (also electronic bill payment).
Salah satu bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk membayar
tagihan melalui transfer dana elektronik. Dana tersebut secara
elektronik ditransfer dari rekening nasabah ke rekening kreditor. Direct
payment berbeda dari preauthorized debit dalam hal ini, nasabah harus
menginisiasi setiap transaksi direct payment.
Electronic Bill
Presentment and Payment (EBPP). Bentuk pembayaran tagihan yang
disampaikan atau diinformasikan ke nasabah atau pelanggan secara online,
misalnya melalui email atau catatan dalam rekening bank. Setelah
penyampaian tagihan tersebut, pelanggan boleh membayar tagihan tersebut
secara online juga. Pembayaran tersebut secara elektronik akan
mengurangi saldo simpanan pelanggan tersebut.
Electronic Check
Conversion. Proses konversi informasi yang tertuang dalam cek (nomor
rekening, jumlah transaksi, dll) ke dalam format elektronik agar bisa
dilakukan pemindahan dana elektronik atau proses lebih lanjut.
Electronic
Fund Transfer (EFT). Perpindahan “uang” atau “pinjaman” dari satu
rekening ke rekening lainnya melalui media elektronik.
Payroll
Card. Salah satu tipe “stored-value card” yang diterbitkan oelh pemberi
kerja sebagai pengganti cek yang memungkinkan pegawainya mengakses
pembayaraannya pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi kerja
menambahkan nilai pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara
elektronik.
Preauthorized Debit (or automatic bill payment).
Bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk mengotorisasi
pembayaran rutin otomatis yang diambil dari rekening banknya pada
tanggal-tangal tertentu dan biasanya dengan jumlah pembayaran tertentu
(misalnya pembayaran listrik, tagihan telpon, dll). Dana secara
elektronik ditransfer dari rekening pelanggan ke rekening kreditor
(misalnya PLN atau PT Telkom).
Prepaid Card. Salah satu tipe
Stored-Value Card yang menyimpan nilai moneter di dalamnya dan
sebelumnya pelanggan sudah membayar nilai tersebut ke penerbit kartu.
Smart
Card. Salah satu tipe stored-value card yang di dalamnya tertanam satu
atau lebih chips atau microprocessors sehingga bisa menyimpan data,
melakukan perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan khusus
(misalnya validasi PIN, otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening,
dan menyimpan data pribadi). Kartu ini bisa digunakan pada sistem
terbuka (misalnya untuk pembayaran transportasi publik) atau sistem
tertutup (misalnya MasterCard atau Visa networks).
Stored-Value
Card. Kartu yang di dalamnya tersimpan sejumlah nilai moneter, yang
diisi melalui pembayaran sebelumnya oleh pelanggan atau melalui simpanan
yang diberikan oleh pemberi kerja atau perusahaan lain. Untuk
single-purpose stored value card, penerbit (issuer) dan penerima
(acceptor) kartu adalah perusahaan yang sama dan dana pada kartu
tersebut menunjukkan pembayaran di muka untuk penggunaan barang dan jasa
tertentu (misalnya kartu telpon). Limited-purpose card secara umum
digunakan secara terbatas pada terminal POS yang teridentifikasi
sebelumnya di lokasi-lokasi tertentu (misalnya vending machines di
sekolah-sekolah). Sedangkan multi-purpose card dapat digunakan pada
beberapa penyedia jasa dengan kisaran yang lebih luas, misalnya kartu
dengan logo MasterCard, Visa, atau logo lainnya dalam jaringan antar
bank.
ALAT PEMBAYARAN MENGGUNAKAN KARTU DI INDONESIA
Belakangan
ini masyarakat perkotaan di Indonesia mulai terbiasa untuk menggunakan
alat pembayaran non tunai untuk berbagai keperluan pembayaran, antara
lain kartu kredit, kartu debet, kartu ATM dan kartu prabayar. Penggunaan
kartu prabayar diyakini akan menjadi trend mekanisme pembayaran di masa
mendatang, misalnya untuk membayar bahan bakar di pompa bensin, tiket
tol, pembelian barang dan berbagai jasa-jasa lainnya.
Semua
proses aktivitas pembayaran melalui berbagai jenis alat pembayaran ini
diproses oleh berbagai penyelenggara sistem pembayaran seperti bank dan
nonbank. Institusi inilah yang nantinya menyelenggarakan jasa mulai
proses pengiriman dana, kliring hingga settlement. Pemakaian kartu
prabayar dalam mekanisme transaksi adalah bagian dari evolusi alat
pembayaran dari uang tunai sampai ke bentuk-bentuk non-tunai. Misalnya
alat pembayaran dalam bentuk kertas (paper based) seperti cek, wesel,
bilyet giro hingga ke elektronik seperti kartu prabayar hingga ke wujud
digital (digital cash).
Jumlah kartu plastik (Kartu Kredit, ATM,
Debit, dan pra bayar) di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke
tahun, seperti yang dilaporkan oleh Bank Indonesia pada tabel di bawah
ini. Sampai bulan Juli 2007 tercatat 54 bank yang menerbitkan kartu ATM
dan 21 penerbit kartu kredit yang terdiri atas perbankan, lembaga selain
bank dan unit usaha syariah bank. Jumlah bank yang menerbitkan kartu
ATM sekaligus kartu debit tercatat sebanyak 37 bank. Sedangkan kartu
prabayar baru diterbitkan hanya oleh dua nama penerbit yaitu
Telekomunikasi Indonesia dan Telekomunikasi Selullar.
PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI E-BANKING
Intensitas
penggunaan layanan transaksi berbasis kartu di Indonesia memang
cenderung semakin meningkat. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa
masyarakat digital- khususnya less-cash society di Indonesia mulai
terbentuk. Memang masyarakat digital tersebut masih tergolong minoritas.
Sebagai ilustrasi, jika jumlah kartu plastik sebanyak 41.172.551 dibagi
jumlah penduduk Indonesia- yang tercatat sebanyak 225 juta pada tahun
2006, maka kartu plastik per kapitanya adalah 0.18. Angka tersebut bisa
diartikan bahwa hanya 18 dari 100 orang Indonesia yang mempunyai kartu
plastik. Jumlah masyarakat digital tersebut relatif tertinggal jika
dibandingkan dengan negara-negara maju. Sebagai contoh, di Amerika
Serikat persentase keluarga yang menggunakan berbagai jenis kartu
plastik tersebut untuk tahun 2003 saja sudah mencapai 65% untuk kartu
ATM, 54% untuk Debit Card, 73% untuk Prepaid Card, dan 6% untuk Smart
Card (The Fed, 2004).
Perbedaan tingkat penetrasi layanan
E-banking tentunya sangat menarik untuk dikaji, terutama dikaitkan
dengan faktor-faktor pendorong atau penghambat penetrasi E-Banking
tersebut di masyarakat. Tingkat penerimaan inovasi teknologi selain
dipengaruhi oleh karakteristik demografi dan sosioekonomi, juga
dipengaruhi oleh persepsi masyarakat tentang teknologi tersebut serta
karakteristik dari berbagai jenis layanan E-banking itu sendiri. Untuk
kasus di Amerika Serikat, pemanfaatan layanan perbankan berbasis
komputer (computer banking) disebabkan oleh faktor kemudahan layanan-
disebutkan oleh 79 persen responden dan penghematan waktu-disebutkan
oleh 71 persen responden. Hasil survey lainnya menunjukkan faktor
kesediaan layanan E-banking yang 24 jam menjadi faktor penting lainnya
(The Fed, 2004). Memang ada faktor lain yang cenderung menjadi
penghambat yaitu aspek keamanan dan kerahasiaan dari layanan E-banking.
ELECTRONIC FUND TRANSFER SYSTEM
Sejak
tahun 2000, Bank Indonesia memperkenalkan kepada stakeholder yakni
perbankan nasional apa yang disebut real time gross settlement (RTGS).
BI-RTGS adalah proses penyelesaian akhir transaksi (settlement)
pembayaran yang dilakukan per transaksi dan bersifat real time. Melalui
mekanisme BI-RTGS ini rekening peserta dapat didebit dan dikredit
berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan
penerimaan pembayaran.
Setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa
BI memakai settlement melalui RTGS. Alasan pertama, jika membuka kembali
literatur dan merujuk hasil studi empiris, ada semacam kesadaran baru
dari bank-bank sentral di seantero jagad ini untuk mengelola Large Value
Transfer System (LVTS). Sistem BI-RTGS dapat mengurangi risiko
sistemik. Yang dimaksud dengan risiko sistemik adalah risiko kegagalan
salah satu peserta dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo. Kegagalan
bayar ini akan membuat peserta bank lain juga ikut terancam. Bahkan
dalam situasi ekstrem, gagal bayar ini berpotensi memicu kesulitan
finansial yang lebih luas yang dapat mengancam stabilitas sistem
pembayaran.
Alasan kedua, melalui sistem RTGS dapat mengurangi
timbulnya float yang diharapkan dapat menyokong efektifitas pengawasan
perbankan. Pada sisi lain dengan pengelolaan likuiditas yang baik di
sektor perbankan juga akan membantu efektifitas kebijakan moneter.
Alasan ketiga, sistem RTGS membuka peluang integrasi dengan berbagai
aplikasi sistem pembayaran. Sebut saja seperti pasar uang dan pasar
modal yang menganut prinsip Delivery versus Payment (DVP) atau bisa juga
melakukan transaksi secara cross border payment melalui Payment versus
Payment (PVP).
Ada beberapa sasaran yang ingin dicapai melalui
aplikasi sistem BI-RTGS, antara lain dengan BI-RTGS transfer dana antar
peserta lebih cepat, efisien, andal dan aman. Selain itu setidaknya ada
kepastian settlement dengan lebih segera. Sistem BI RTGS ini akan
memperlihatkan informasi rekening peserta secara real time dan
menyeluruh. Bagi peserta RTGS juga dituntut untuk disiplin dan
profesional dalam mengelola likuiditas mereka. Dan diharapkan melalui
sistem RTGS ini akan mengurangi berbagai risiko settlement.
Saat
ini aplikasi sistem BI-RTGS sudah berjalan di semua Kantor Bank
Indonesia (KBI) di seluruh Indonesia. Sudah ada 148 peserta BI-RTGS yang
terdiri atas 125 bank konvensional, 21 bank syariah/UUS dan dua peserta
non-bank. Indonesia adalah negara kedelapan di Asia yang
mengaplikasikan RTGS. Sedangkan di dunia baru ada 30 negara yang
mengaplikasikannya. Jumlah dan nilai transaksi RTGS menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun.
Sumber: Bank Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar